Muslim Amerika Menjadikan Momen Ramadhan Untuk Merangkul Komunitas Lain
Upaya untuk memberi pemahaman tentang Ramadhan juga aktif dilakukan asosiasi mahasiswa Muslim di berbagai kampus melalui program yang disebut Fast-a-thon. Kegiatan sosial yang bertujuan memberi pemahaman mengenai isu kelaparan dan sekaligus cara hidup Muslim mengajak mahasiswa non-Muslim berpuasa sehari penuh seperti yang dilakukan Muslim sebulan penuh.
Sejarah Islam di Amerika Serikat bermula sekitar abad ke 16, dimana Estevánico dari Azamor adalah Muslim pertama yang tercatat dalam sejarah Amerika Utara. Walau begitu, kebanyakan para peneliti di dalam mempelajari kedatangan Muslim di AS lebih memfokuskan pada kedatangan para imigran yang datang dari Timur Tengah pada akhir abad ke 19. Migrasi Muslim ke AS ini berlangsung dalam periode yang berbeda, yang sering disebut "gelombang", sekalipun para ahli tidak selalu sepakat dengan apa yang menyebabkan gelombang ini.
Populasi Muslim di AS telah meningkat dalam seratus tahun terakhir, dimana sebagain besar pertumbuhan ini didorong oleh adanya imigran. Pada 2005, banyak orang dari negara-negara Islam menjadi penduduk AS – hampir 96.000 – setiap tahun dibanding dua dekade sebelumnya. (wikipedia.org).
Saat ini, kaum muslim di Amerika juga melaksanakan rukun Islam yang ketiga, yaitu puasa Ramadahan. Berpuasa di tengah masyarakat non-Muslim seperti di Amerika merupakan tantangan tersendiri, karena bukan saja tradisi Ramadhan harus disesuaikan dengan irama kehidupan di Amerika, tapi juga karena banyak non-Muslim Amerika tidak atau kurang paham mengenai Ramadhan.
Seorang mahasiswa Universitas Washington, seperti yang dilansir Voanwes.com, 07/08, mengatakan sama sekali tidak mengetahui tentang Ramadhan, namun sebagian yang lain sedikit memahaminya. Misalnya Shoshana Billic, Ia mengatakan sebatas yang diketahuinya Ramadhan adalah bulan suci umat Islam.
Di sisi lain, ada sebagian non-Muslim Amerika yang sepintas tahu bahwa dalam bulan Ramadhan, seorang Muslim menahan diri untuk tidak makan dan minum mulai dari terbitnya fajar subuh sampai magrib sebulan penuh. Mereka juga mengetahui alasan muslim berpuasa, yaitu karena perintah Allah dan rukun Islam yang ketiga. Atau untuk berempati kepada mereka yang kurang beruntung. Namun, kebanyakan dari mereka hampir tidak pernah mendengar alasan pokoknya, yaitu Ramadhan adalah saat untuk mengendalikan kebutuhan badaniah, saat untuk melindungi dan menyucikan panca indera, dan saat untuk meningkatkan ketakwaan.
Dalam menyikapi ketidaktahuan ini, banyak Muslim Amerika menggunakan kesempatan puasa Ramadhan untuk merangkul komunitas di sekeliling mereka. Ashraf Sufi dan keluarganya yang tinggal di Topeka, Kansas, misalnya, kerap mengundang tetangga-tetangganya yang non-Muslim untuk berbuka puasa bersama. Ia mengatakan bahwa acara berbuka di rumahnya menjadi seperti dialog antar agama, karena seringkali kedatangan sekitar 70 orang, termasuk dari kelompok Nasrani, Yahudi, Budha, dan Bahai.
Kecenderungan warga Amerika untuk melakukan kerja sukarela juga mempengaruhi cara Muslim Amerika menjalankan tradisi Ramadhan, seperti yang dilakukan Nabila Mango, pekerja sosial di San Fransisco. Ia mengatakan bahwa sejak enam tahun belakangan acara buka puasa yang dikelolanya di distrik Tenderloin menarik sekitar 100 sukarelawan dari beragam latar belakang agama.
Upaya untuk memberi pemahaman tentang Ramadhan juga aktif dilakukan asosiasi mahasiswa Muslim di berbagai kampus melalui program yang disebut Fast-a-thon. Kegiatan sosial yang bertujuan memberi pemahaman mengenai isu kelaparan dan sekaligus cara hidup Muslim itu mengajak mahasiswa non-Muslim berpuasa sehari penuh seperti yang dilakukan Muslim sebulan penuh.
Meskipun banyak pemberitaan yang kurang berimbang mengenai Islam, upaya untuk memberi pemahaman Ramadhan ditanggapi positif. Tahun lalu, lebih dari 250 universitas di seluruh Amerika menggelar kegiatan Fast-a-thon, bahkan banyak dari lembaga pendidikan tinggi itu juga menyediakan fasilitas untuk shalat tarawih.
Pada tingkat yang lebih tinggi upaya untuk memahami Ramadhan juga nampak jelas. Gedung Putih dan berbagai lembaga pemerintahan Amerika lainnya, seperti Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan, sejak beberapa tahun terakhir ini mengadakan acara buka puasa bersama.
Jadi, dengan membuka diri, non-Muslim di Amerika bukan saja lebih mudah memahami Ramadhan, tetapi juga bisa menepis pandangan keliru tentang Islam, seperti yang dikatakan Hassan Hatim, mahasiswa Muslim di Universitas Washington.
“Dunia Barat adalah tempat terbaik untuk mengubah pandangan apa pun, baik atau buruk. Di sini ada berbagai sumber informasi serta dukungan dan orang Barat terbuka untuk mendengar. Apa yang kita lakukan di sini akan bergema ke seluruh dunia. Itu adalah tanggung jawab kita,” Ungkap Hassan Hatim
Populasi Muslim di AS telah meningkat dalam seratus tahun terakhir, dimana sebagain besar pertumbuhan ini didorong oleh adanya imigran. Pada 2005, banyak orang dari negara-negara Islam menjadi penduduk AS – hampir 96.000 – setiap tahun dibanding dua dekade sebelumnya. (wikipedia.org).
Saat ini, kaum muslim di Amerika juga melaksanakan rukun Islam yang ketiga, yaitu puasa Ramadahan. Berpuasa di tengah masyarakat non-Muslim seperti di Amerika merupakan tantangan tersendiri, karena bukan saja tradisi Ramadhan harus disesuaikan dengan irama kehidupan di Amerika, tapi juga karena banyak non-Muslim Amerika tidak atau kurang paham mengenai Ramadhan.
Seorang mahasiswa Universitas Washington, seperti yang dilansir Voanwes.com, 07/08, mengatakan sama sekali tidak mengetahui tentang Ramadhan, namun sebagian yang lain sedikit memahaminya. Misalnya Shoshana Billic, Ia mengatakan sebatas yang diketahuinya Ramadhan adalah bulan suci umat Islam.
Di sisi lain, ada sebagian non-Muslim Amerika yang sepintas tahu bahwa dalam bulan Ramadhan, seorang Muslim menahan diri untuk tidak makan dan minum mulai dari terbitnya fajar subuh sampai magrib sebulan penuh. Mereka juga mengetahui alasan muslim berpuasa, yaitu karena perintah Allah dan rukun Islam yang ketiga. Atau untuk berempati kepada mereka yang kurang beruntung. Namun, kebanyakan dari mereka hampir tidak pernah mendengar alasan pokoknya, yaitu Ramadhan adalah saat untuk mengendalikan kebutuhan badaniah, saat untuk melindungi dan menyucikan panca indera, dan saat untuk meningkatkan ketakwaan.
Dalam menyikapi ketidaktahuan ini, banyak Muslim Amerika menggunakan kesempatan puasa Ramadhan untuk merangkul komunitas di sekeliling mereka. Ashraf Sufi dan keluarganya yang tinggal di Topeka, Kansas, misalnya, kerap mengundang tetangga-tetangganya yang non-Muslim untuk berbuka puasa bersama. Ia mengatakan bahwa acara berbuka di rumahnya menjadi seperti dialog antar agama, karena seringkali kedatangan sekitar 70 orang, termasuk dari kelompok Nasrani, Yahudi, Budha, dan Bahai.
Kecenderungan warga Amerika untuk melakukan kerja sukarela juga mempengaruhi cara Muslim Amerika menjalankan tradisi Ramadhan, seperti yang dilakukan Nabila Mango, pekerja sosial di San Fransisco. Ia mengatakan bahwa sejak enam tahun belakangan acara buka puasa yang dikelolanya di distrik Tenderloin menarik sekitar 100 sukarelawan dari beragam latar belakang agama.
Upaya untuk memberi pemahaman tentang Ramadhan juga aktif dilakukan asosiasi mahasiswa Muslim di berbagai kampus melalui program yang disebut Fast-a-thon. Kegiatan sosial yang bertujuan memberi pemahaman mengenai isu kelaparan dan sekaligus cara hidup Muslim itu mengajak mahasiswa non-Muslim berpuasa sehari penuh seperti yang dilakukan Muslim sebulan penuh.
Meskipun banyak pemberitaan yang kurang berimbang mengenai Islam, upaya untuk memberi pemahaman Ramadhan ditanggapi positif. Tahun lalu, lebih dari 250 universitas di seluruh Amerika menggelar kegiatan Fast-a-thon, bahkan banyak dari lembaga pendidikan tinggi itu juga menyediakan fasilitas untuk shalat tarawih.
Pada tingkat yang lebih tinggi upaya untuk memahami Ramadhan juga nampak jelas. Gedung Putih dan berbagai lembaga pemerintahan Amerika lainnya, seperti Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan, sejak beberapa tahun terakhir ini mengadakan acara buka puasa bersama.
Jadi, dengan membuka diri, non-Muslim di Amerika bukan saja lebih mudah memahami Ramadhan, tetapi juga bisa menepis pandangan keliru tentang Islam, seperti yang dikatakan Hassan Hatim, mahasiswa Muslim di Universitas Washington.
“Dunia Barat adalah tempat terbaik untuk mengubah pandangan apa pun, baik atau buruk. Di sini ada berbagai sumber informasi serta dukungan dan orang Barat terbuka untuk mendengar. Apa yang kita lakukan di sini akan bergema ke seluruh dunia. Itu adalah tanggung jawab kita,” Ungkap Hassan Hatim
0 komentar:
Posting Komentar