Hidayatullah.com--Bulan ini ada dua tamu istimewa yang menyapa santri-santri Hidayatullah Jogjakarta. Pertama, bulan Suci Ramadhan. Kedua, seorang imam dari Gaza, Palestina, Dr. Wael Muhyiddin Azzard. Beliau adalah tokoh besar yang dimiliki negara yang kini sedang dicabik-cabik Zionis-Israel.
Selain doktor hadits alumnus Al Azhar, Kairo Mesir, ia juga imam besar masjid di Gaza. Kedatangannya ke Indonesia untuk mempererat jalinan iman antara Muslim Indonesia dengan Muslim Palestina. Karena itu, setiap hari ia berkeliling dari masjid ke masjid dan dari pesantren ke pesantren mengabarkan kondisi Palestina. Ia tidak mau sehari saja tak ada aktivitas dakwah, ingin selalu berkeliling.
“Saya maunya bergerak terus mengabarkan Palestina kepada penduduk Indonesia sebanyak-banyaknya. Saya tidak betah kalau disuruh istirahat sehari saja, lebih baik pulang ke Gaza. Di Gaza, setiap hari saya selalu bergerak, dakwah, taklim, halaqah, dan mengajar,” ujar dosen Universitas Gaza ini di sela-sela obrolannya kepada rombongan yang mengantarkan keliling ke beberapa pesantren di Solo.
Ayah 12 anak yang kerap disapa Syeikh Wael ini tiba di Pesantren Hidayatullah bersama tim Sahabat Al Aqsha menjelang zhuhur. Ia lalu didapuk sebagai imam shalat. Masjid Markazul Islam yang tidak terlalu besar itu pun tumplek-blek oleh jamaah, baik dari para santri maupun asatidz.
Sesaat sebelum memberikan ceramah ia menyalami dan menyapa santri yang mengerubutinya. Matanya tampak berbinar-binar melihat santri kecil-kecil mengenakan jubah dan dipadu songkok putih yang terlihat begitu semangat belajar agama. Ia menanyakan hal-hal ringan seperti: “Kaifa haluk?”, “Hal anta hafidzul Quran?” dan pertanyaan lainnya dengan bahasa Arab. Waktu sekitar sejam lebih ia gunakan berceramah dengan singkat dan padat.
“Saya begitu gembira melihat santri yang belajar Islam dan al-Quran. Dan, itu saya dapatkan ketika berkeliling ke beberapa pesantren. Salah satunya di Pesantren Hidayatullah Jogjakarta ini. Para santrinya terlihat bersungguh menimba ilmu syari’ah,” ujarnya di awal ceramahnya dengan menggunakan bahasa Arab.
Ada tiga hal penting yang disampaikan dalam ceramahnya. Pertama, wajibnya belajar bahasa Arab. Menurutnya, belajar bahasa Arab itu wajib bagi setiap Muslim. Katanya, posisinya setara dengan kewajiban fardu ‘ain lainnya seperti shalat. Sebab, dengan bahasa Arab, seseorang bisa memahami makna hadits dan al Quran dengan baik.
“Bahasa Arab itu bahasa al Quran dan bahasa agama. Kita akan memahami agama jika paham bahasa Arab. Tidak saja paham secara teks tapi juga percakapan. Tentunya bahasa Arab fusha bukan ‘amiyah,” tuturnya.
Syeikh Wael juga menyoroti orang Arab sendiri yang tidak sedikit tidak bisa bahasa Arab fusha, melainkan ‘amiyah. Ia kerap mendapati orang Arab asli yang hanya bisa berbahasa Arab pasaran. Seperti sewaktu bersama temanya dari Gaza saat umrah. Ketika itu, keduanya bertemu orang Chehnya. Orang tersebut mengajak Syeikh Wael berbicara secara khusus dengan bahasa Arab. Ternyata, ia bisa berbahasa Arab fusha dengan sangat baik. Temanya yang dari Gaza hanya bengong sambil berkata: “Apa yang kalian bicarakan?”
“Ini kan lucu. Orang Arab tidak bisa bahasa Arab fusha. Karena itu, kalian wajib bisa bahasa Arab,” ujarnya.
Kedua ia menekankan pentingnya membaca (qiraah). Sebab, jika santri ingin menjadi orang sukses dan bisa merubah bangsa Indonesia, salah satunya dengan banyak membaca. Hal itu sejalan dengan surat pertama turun tentang titah membaca: ‘Iqra. “Banyaklah membaca. Buku apapun itu asal bermanfaat. Sebab, dengan membaca, kalian bisa menuai banyak ilmu dan pengetahuan,” tuturnya.
Menurutnya, salah satu yang membuat Indonesia lemah karena budaya membaca bangsa sangat rendah. Karena itu, tak pelak jika bangsa Indonesia mudah dibodohi oleh asing, salah satunya dalam hal ekonomi. Ia pun menyayangkan jauhnya perbandingan mata uang rupiah dengan dollar. Menurutnya, satu dolar sama halnya dengan sekitar Rp 9 ribu dan hal itu setali tiga uang dengan kezaliman.
“Seharusnya rupiah yang di atas bukan dolar. Rupiah harus di langit dan dolar di bumi,” tegasnya.
Untuk mengubah itu, katanya, harus dengan ilmu. Kalau bangsa Indonesia cerdas maka bisa merubah nasibnya sendiri. Tidak hanya dalam ekonomi, tapi juga dalam tekhonologi, politik, dan budaya. “Bangsa Indonesia harus menjadi bangsa besar dan besar di bangsanya sendiri. Jangan malah dimanfaatkan asing,” katanya.
Ketiga, adalah pentingnya memerdekakan Palestina. Ia menegaskan, Palestina dan al Quds bukan hanya milik Palestina. Melainkan milik seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia. Karena itu, pembebasan masjid Al Aqsha dari Zinois-Yahudi kewajiban bersama.
“Umat Islam wajib merebut dan memerdekakan kembali al Aqsha dan Palestina dari Yahudi,” teriaknya yang ditimpali takbir para santri.
Ia berfikir, pembebas Palestina tidak harus dari orang Palestina sendiri. Bila melihat sejarah, Palestina pernah ditaklukan dua kali dan selalu oleh pejuang dari luar Palestina. Seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab dari Mekkah dan Shaluddin Al Ayyubi dari Turki.
“Karena itu, bisa jadi dan tidak menutup kemungkinan pembebas Palestina yang ketiga itu dari Indonesia,” ujarnya yang lagi-lagi disambut gemuruh takbir para santri.*
Rating Artikel : 5 Jumlah Voting : 99 Orang
Readmore..