Al-Quran merupakan f irman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan demi mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat.
Konsep-konsep yang dibawa al-Quran selalu relevan dengan problema yang dihadapi manusia, karena itu ia turun untuk mengajak manusia berdialog dengan penafsiran sekaligus memberikan solusi terhadap problema tersebut di manapun mereka berada.
Pada kenyataannya, Al-Quran benar-benar telah mengepung level kecil klasik kesusastraan jahiliyah untuk memperkenalkan pemikiran keagamaan dan konsep-konsep monoteistiknya ke dalam Bahasa Arab. Ia juga menciptakan design dahsyat dalam Bahasa Arab dengan mengubah instrument-instrument teknis pengungkapannya.
Pada satu sisi, ia menggantikan syair metrik dengan bentuk ritmenya sendiri yang tak tertirukan, dan pada sisi lain memperkenalkan konsep-konsep dan tema-tema baru yang mengarah kepada arus besar monoteisme.
Luas dan keberagaman tema Al-Quran merupakan hal yang sangat unik. la menembus sudut pandang paling kabur dalam pikiran manusia, menembus dengan kekuatan nyata jiwa orang beriman bahkan orang yang tanpa iman sekalipun untuk merasakan sesuatu dalam gerak-gerik jiwanya.
Al-Quran juga mengalihkan perhatiannya kepada masa lalu yang jauh dalam sejarah perjalanan ummat manusia sekaligus mengarah ke masa depannya dengan tujuan mengajarkan tugas-tugas masa kini. Ia melukiskan gambaran dan tanda-tanda yang mengundang manusia untuk segera menarik pelajaran darinya.
Setelah pelajaran dapat ditarik kesimpulannya, ternyata jiwa manusia tanpa disadari terseret serta terpesona oleh kedalaman dan keluasan makna Al-Quran. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Quran sebagai mukjizat terbukti menjadi modal kehidupan dunia dan akhirat.
Masihkah Al-Quran bersama kita?
Masih adakah Al-Quran selalu bersama kita merupakan pernyataan tegas terhadap sikap, prilaku dan kondisi internal keberagamaan ummat Islam di tengah arus modernisasi sebagai suatu proses perkembangan dalam peradaban manusia.
Apalagi sekarang ini, ummat islam Indonesia sedang menanti datangnya pemimpin baru yang dengan tulus ikhlas membawa perubahan struktural kondisi kebangsaan dan menjadi tiang penyanggah yang kuat dari rapuhnya keyakinan (tauhid) dan robohnya nilai-nilai sosial kemanusiaan bahkan mampu membuka bendungan ekonomi yang mensejahterakan setelah sekian lama tersendat oleh kepentingan ideologis maupun golongan tertentu.
Melalui momentum Nuzulul Quran ini, pernyataan “Masihkah Al-Quran bersama kita” menjadi sebuah gugatan terhadap prilaku dan keyakinan yang belum selalu berdampingan dengan Al-Quran bahkan menyatu dengannya.
Al-Quran sebagai risalah terakhir yang sempurna dan universal bagi seluruh ummat manusia dengan konsep tanzil-turun, membawa atau menurunkan banyak pesan yang harus direpresentasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya media seruan yang dimunculkan dalam ayat al-Quran, baik yang diseru “Wahai manusia”, “Bani Adam”, “Orang-orang beriman dan kaf ir” ataupun Ahli Kitab.
Melalui risalah Muhammad, Allah SWT menurunkan al-Quran saat manusia sedang mengalami kekosongan para rasul, kemunduran akhlak dan kehancuran problem kemanusiaan, sosial politik dan ekonomi. Pada setiap problem itu, al-Quran meletakkan sentuhannya yang mujarrab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia selanjutnya yang relevan di setiap zaman.
Sejak diturunkannya sampai dengan sekarang al-Quran tidak pernah terlepas dari suatu tradisi yang sedang berjalan. Dengan kata lain, pesan-pesan al-Quran selalu berhubungan dengan pribadi atau masyarakat yang mengganggapnya sakral atau sebagai sentralitas etika universal.
Jika melihat kondisi ummat Islam pada saat al-Quran diturunkan, melalui momentum nuzulul Quran ini, semua peristiwa di masa lalu itu dibangkitkan melalui perenungan. Jadi ada kesamaan konteks ketika al-Quran diturunkan pertama kali dengan kondisi terkini yang secara sosial, politik, ekonomi dan agama memang sedang mengalami kebobrokan dan membutuhkan pemecahannya.
Untuk itu, ummat Islam sebagai ummat yang terbaik mengemban tugas berat yang berkaitan dengan memahami, mengilhami dan melakukan tanggung jawab. Karena memahami dan menaf sirkan adalah bentuk yang paling mendasar dari keberadaan manusia dimuka bumi yang memiliki
jabatan sebagai khalifah.
jabatan sebagai khalifah.
Dengan demikian, eksistensi ummat Islam sebagai ummat yang terbaik tidak diragukan. Dengan bantuan ilmu pengetahuan dan agama, peristiwa Nuzulul Quran yang terjadi beberapa abad yang lalu menjadi sesuatu yang berkesinambungan hingga kini.
Masa lalu tidaklah usang dan ia menjadi pendahulu masa kini. Maka dari itu, upaya memahami makna nuzulul Quran pada saat sekarang ini sama sekali tidak menghilangkan makna dan konteks terdahulu, melainkan merangkumnya untuk kemudian diteruskan hingga kini. Ada semacam harapan yang harus terpenuhi dalam menghadapi tantangan global saat ini sebagaimana Rasulullah juga menghadapi tantangan dan ujian yang berat.
Setelah melihat konteks nuzulul Quran, tugas selanjutnya ialah melakukan kontektualisasi ajaran dan pesan yang terkandung dalam peristiwa nuzulul Quran. Kita harus selalu berdampingan dengan al-Quran dalam setiap pikiran, perkataan dan perbuatan. Persahabatan kita dengan al-Quran baru sebatas pragmatis dan belum menjadi sesuatu yang harmonis sehingga al-Quran belum membuka solusi terhadap problem kehidupan.
Selain itu, ketika def inisi konkrit dari nilai-nilai al-Quran ialah menghadirkannya dalam pikiran dan realita semakin berkurang intensitasnya sehingga membacanya yang dianggap sebagai ibadah hanya menjadi bacaan biasa karena dibaca tanpa pengamalan dan penghayatan.
Terjadi pengaburan pada batas-batas norma dan etika. kekacauan dan ketidakdisiplinan di kubu wakil rakyat yang masih sulit diverif ikasi dalam memberikan keterangan tentang identitas individu dalam proses pemilu menunjukkan keremangan nasib bangsa. Pantaskah mereka mewujudkan keadilan sosial yang menyeluruh jika kejujuran belum menjadi dasar kursi kepemimpinan.
Masalah lainnya adalah ekonomi yang perlu mendapatkan perhatian serius. Asumsi tentang indikator pertumbuhan dipahami dengan meratanya volume perdagangan, padahal pengentasan kemiskinan masih berjalan di tempat dan belum menemukan solusi yang berarti.
Ketika Negara gagal merepresentasikan kepentingan warga lemah, melalui momentum Nuzulul Quran, kepentingan membangun Negara digugat. Di samping itu angka pengangguran semakin bertambah di tengah laju pertumbuhan ekonomi.
Kasus rendahnya adaptasi lulusan sekolah menjadi tuntutan pasar sekaligus menjadi persoalan pertama dalam mengatasi kemiskinan global. Belum lagi Lembaga pemerintah yang terpercaya dalam memberantas kasus korupsi ternyata gagal dalam mengungkap kasus korupsi yang terencana dan professional.
Keterlibatan sejumlah pejabat tinggi Negara dan kejaksaan membuat tidak ada lagi yang bisa dipercaya dalam menegakkan keadilan. Pejabat dan wakil rakyat miskin secara hati nurani sehingga menghasilkan mentalitas koruptor.
Sedemikian parahkah Negeri ini? korupsi dinyatakan sebagai akibat sikap mentalitas bangsa Indonesia yang suka menerabas yaitu mentalitas yang terkait dengan trend hidup masa kini yaitu, konsumerisme dan hedonisme yang berikutnya menghasilkan sikap permisif.
Mereka hanya memikirkan kesenangan diri tanpa memperdulikan klaim negatif dari norma sosial. Mereka mengaburkan batas etika. Korupsi menjadi sebuah kejahatan yang struktural sebagai hasil interaksi sosial yang berulang dan terpola. Nasionalisme yang dibanggakan telah beralih kepada nasionalisme yang simbolistis dan cendrung destruktif pada dirinya sendiri.
Jika kecendrungan manusia di zaman globalisasi yang didukung dengan kemajuan teknologi ini cendrung memperlihatkan sisi egoisitas dalam memenuhi kebutuhan materialnya, maka ada baiknya juga menggunaka ego untuk memenuhi kebutuhan spiritual kepada Allah yang sebenarnya menjadi ikatan primordial antara hamba dan Tuhan-Nya (Hablum min Allah wa hablum minan-naas).
Karena secara psikologis ego merupakan pusat pencerapan dan kesadaranyang memberi kesempatan dan kemampuan untuk memiliki kesadaran diri sepenuhnya. Dan ego tidak lagi dipahami dengan opini negatif.
Kesadaran yang mendasar terhadap perisitiwa Nuzulul Quran memberikan akses kepada esensi al-Quran dengan keanekaragaman dimensi dan nilai holisitiknya. Bersamaan dengan itu keraguan terhadap al-Quran hilang dan digantikan dengan keyakinan yang teguh. Keyakinan yang teguh kepada al-Quran setelah dengan melakukan pencerapan dan penghayatan dapat membuka pintu-pintu hidayahnya sebagai sumber etika dan nilai universal.
Al-Quran sebagai Kalamullah secara komprehensif terbukti telah mencerahkan eksistensi kebenaran dan moral manusia. Mukjizat dan wahyu yang menjadi kitab bagi ummat Islam khususnya dan seluruh ummat pada umumnya tidak habis-habisnya menguraikan secara detail subtansi kebenaran. Ayat-ayatnya senantiasa melahirkan interpretasi filosofis yang menggugat infiltrasi pemikiran kebenaran semu bahkan menyesatkan dari para pemikir non wahyu.
Al-Quran yang membuka ruang penafsiran secara tipikal menukik pada akal orisinil dan langsung menyentuh aspek mendasar dalam kehidupan, yaitu etika dan moral dalam hubungannya sebagai hamba dengan Sang Khaliq-Allah.
Salah satu penyebab utama kekerasan dan konflik yang dialami ummat manusia karena tidak menjadikan al-Quran sebagai sumber nilai etika dan moral. Keadaan ini menurut Harun Yahya seorang Filsuf Islam Kontemporer adalah dengan mengupayakan nilai-nilai moral dan etika dalam al-Quran diberlakukan dalam kehidupan.
Allah Swt telah berbicara dalam al-Quran tentang kaidah besar seperti keadilan, perdamaian, kebenaran, Iman dan Islam. Dia juga berbicara tentang muamalah dan pandangan hidup. Problem apapun yang terjadi, krisis apapun yang berlaku, solusi dan penawarannya ada di dalam al-Quran.
Dengan semangat baru, Nuzulul quran menjadi momentum efektif jika Al-Quran dijadikan sebagai solusi problem kehidupan yang memberitahukan tuntutan yang harus dilaksanakannya dalam membangkitkan berbagai niiai yang diinginkan dalam penyucian jiwa.
Membaca al-Quran sebagai jalan mencari solusi juga menyempurnakan ibadah lainnya. Ia dapat berfungsi dengan baik jika dalam membacanya disertai dengan adab-adab batin dalam perenungan, khusyu’ dan mentadabburinya yang akhirnya banyak mendatangkan manfaat berupa petunjuk dari Allah, inspirasi dan basis imajenasi.
Bertadabbur berarti memperhatikan dan merenungi makna-maknanya. Bahkan Ibnu Mas’ud berkata,
“Barang siapa yang menghendaki ilmu orang-orang yang terdahulu dan ilmu orang-orang yang akan datang, hendaklah ia mendalami Al-Quran“.
Kitab Ummat islam ini memberikan pedoman serta jalan yang lurus yang mampu menghindari buruknya kesesatan. Etika kehidupan dan akhlak kan’mah terangkum dalam Al-Quran. Bahkan, Rasulullah sendiri dibina akhlaknya langsung oleh Al-Quran.
Melalui Nuzulul Quran ini, mari bersama membangun Indonesia dengan spririt keimanan dan keislaman. Menjadikan akhlak Rasulullah sebagai basis sumber daya manusia. Akhirnya Nuzulul Quran di masa lalu membawa pesan yang sama di masa kini dan akan selalu menjadi landasan structural yang abadi di masa mendatang. Amin.
Sumber : Indah Mulya, Edisi no. 490 Th. VI – 14 September 2008
0 komentar:
Posting Komentar