BAGI kebanyakan muslim yang berpuasa pada Ramadan, makanan sahur merupakan satu-satunya hidangan yang disantap sebelum menjalankan berpuasa. Apalagi sahur merupakan sunnah Nabi Muhammad.
Di Amerika Serikat, warga yang beragama Islam dan melaksanakan puasa sering menyiapkan santapan sahur dengan menu serba daging. Hidangan yang disiapkan pun merupakan menu yang sering mereka santap setiap akhir minggu.
Hidangan itu antara lain kue dadar, wafel, telur mata sapi atau dadar isi, daging kalkun asap, sosis sapi, dan roti panggang dengan mentega dan selai atau bagel dengan krim keju.
Salah satu pengacara beragama Islam di Chicago, Arsalan Iftikhar, sudah terbiasa makan sahur ala AS sejak kecil. Padahal keluarga besarnya berasal dari Pakistan.
“Ibu saya selalu masak makanan yang diminta anak-anaknya. Saya suka telur dadar, saudara perempuan saya biasanya minta dibuatkan kue dadar, dan saudara laki-laki saya minta dibuatkan spageti atau masakan lain yang menurut saya aneh untuk makanan sahur. Ketika kami kecil di Chicago, kami selalu makan sahur dengan empat menu lengkap,” paparnya.
Seorang insinyur teknik sipil di Duxbury, Massachusetts, Aboud al-Zaim, juga sudah terbiasa sahur dengan menu ala AS. Beristerikan orang Amerika, Al-Zaim terbiasa memulai puasa Ramadan dengan secangkir kopi, kurma dan bagel.
Ia pun mengaku kerap merindukan kurma goreng mentega, keju feta, buah zaitun, dan teh yang selalu disediakan ibunya semasa kecil di Damaskus, Suriah.
Hal itu pun berlaku bagi Ali Saleem, lajang berusia 25 tahun yang tinggal di Los Angeles, California. Ali mengaku lebih memilih granola, orak-arik putih telur, dan minuman mengandung protein untuk makan sahur daripada nasi biryani dan paratha yang biasa disiapkan ibunya sewaktu kecil di Pakistan.
Memang, bagi banyak imigran Muslim, menyesuaikan tradisi puasa Ramadan dengan ritme kehidupan di AS. Bahkan terkadang hal itu dilakukan karena dirasa nyaman, tetapi kadang juga karena memang perlu dilakukan. Jadi, selain menu makan sahur yang berubah menjadi ala Amerika, cara makan sahur pun berbeda.
Menu yang menyesuaikan itu pun berlaku untuk kondisi sahurnya. Biasanya sahur dilakukan di rumah bersama seluruh anggota keluarga, namun kini banyak kawula muda Muslim di AS lebih suka sahur bersama teman di restoran 24 jam.
Ahmed Abedin, pegawai IT di Long Beach, California, misalnya, kerap makan sahur bersama rekan-rekannya di restoran Los Feliz. Setelah itu berlanjut dengan sholat subuh berjamaah di masjid.
Bahkan ada kelompok-kelompok mahasiswa muslim yang berkabar untuk sahur bersama melalui jaringan media sosial. Seperti halnya mahasiswa Muslim di Universitas Boston yang menggunakan Facebook untuk mengajak makan sahur di IHOP.
Sementara Soha Yassin, koordinator pemuda di Pusat Kajian Islam California Selatan, melalui foto online berjudul “Breakfast at Night” di Twitter berusaha mengajak kawula muda Muslim saling berhubungan untuk sahur bersama. Karena, akunya, sahur bersama itu bisa berlanjut dengan kegiatan lain seperti membahas Alquran di masjid. Hal ini demi menghapus mitos bahwa “Ramadan adalah praktik non-Barat.”
Meski Muslim di AS menjalankan puasa Ramadan dengan tradisi baru, esensi Ramadan tak pernah berubah.
“Saya ingat, kakek saya yang tinggal di desa di Pakistan hanya makan sebutir kurma dan segelas air untuk sahur, padahal suhu di sana luar biasa panasnya. Ini membuat saya sangat mensyukuri apa yang kami miliki di Amerika ini, dan lebih memahami bagaimana jauh lebih beratnya berpuasa di berbagai tempat di dunia ini bagi banyak orang,” kata Ikhtifar. (VOA/Wrt3)
Di Amerika Serikat, warga yang beragama Islam dan melaksanakan puasa sering menyiapkan santapan sahur dengan menu serba daging. Hidangan yang disiapkan pun merupakan menu yang sering mereka santap setiap akhir minggu.
Hidangan itu antara lain kue dadar, wafel, telur mata sapi atau dadar isi, daging kalkun asap, sosis sapi, dan roti panggang dengan mentega dan selai atau bagel dengan krim keju.
Salah satu pengacara beragama Islam di Chicago, Arsalan Iftikhar, sudah terbiasa makan sahur ala AS sejak kecil. Padahal keluarga besarnya berasal dari Pakistan.
“Ibu saya selalu masak makanan yang diminta anak-anaknya. Saya suka telur dadar, saudara perempuan saya biasanya minta dibuatkan kue dadar, dan saudara laki-laki saya minta dibuatkan spageti atau masakan lain yang menurut saya aneh untuk makanan sahur. Ketika kami kecil di Chicago, kami selalu makan sahur dengan empat menu lengkap,” paparnya.
Seorang insinyur teknik sipil di Duxbury, Massachusetts, Aboud al-Zaim, juga sudah terbiasa sahur dengan menu ala AS. Beristerikan orang Amerika, Al-Zaim terbiasa memulai puasa Ramadan dengan secangkir kopi, kurma dan bagel.
Ia pun mengaku kerap merindukan kurma goreng mentega, keju feta, buah zaitun, dan teh yang selalu disediakan ibunya semasa kecil di Damaskus, Suriah.
Hal itu pun berlaku bagi Ali Saleem, lajang berusia 25 tahun yang tinggal di Los Angeles, California. Ali mengaku lebih memilih granola, orak-arik putih telur, dan minuman mengandung protein untuk makan sahur daripada nasi biryani dan paratha yang biasa disiapkan ibunya sewaktu kecil di Pakistan.
Memang, bagi banyak imigran Muslim, menyesuaikan tradisi puasa Ramadan dengan ritme kehidupan di AS. Bahkan terkadang hal itu dilakukan karena dirasa nyaman, tetapi kadang juga karena memang perlu dilakukan. Jadi, selain menu makan sahur yang berubah menjadi ala Amerika, cara makan sahur pun berbeda.
Menu yang menyesuaikan itu pun berlaku untuk kondisi sahurnya. Biasanya sahur dilakukan di rumah bersama seluruh anggota keluarga, namun kini banyak kawula muda Muslim di AS lebih suka sahur bersama teman di restoran 24 jam.
Ahmed Abedin, pegawai IT di Long Beach, California, misalnya, kerap makan sahur bersama rekan-rekannya di restoran Los Feliz. Setelah itu berlanjut dengan sholat subuh berjamaah di masjid.
Bahkan ada kelompok-kelompok mahasiswa muslim yang berkabar untuk sahur bersama melalui jaringan media sosial. Seperti halnya mahasiswa Muslim di Universitas Boston yang menggunakan Facebook untuk mengajak makan sahur di IHOP.
Sementara Soha Yassin, koordinator pemuda di Pusat Kajian Islam California Selatan, melalui foto online berjudul “Breakfast at Night” di Twitter berusaha mengajak kawula muda Muslim saling berhubungan untuk sahur bersama. Karena, akunya, sahur bersama itu bisa berlanjut dengan kegiatan lain seperti membahas Alquran di masjid. Hal ini demi menghapus mitos bahwa “Ramadan adalah praktik non-Barat.”
Meski Muslim di AS menjalankan puasa Ramadan dengan tradisi baru, esensi Ramadan tak pernah berubah.
“Saya ingat, kakek saya yang tinggal di desa di Pakistan hanya makan sebutir kurma dan segelas air untuk sahur, padahal suhu di sana luar biasa panasnya. Ini membuat saya sangat mensyukuri apa yang kami miliki di Amerika ini, dan lebih memahami bagaimana jauh lebih beratnya berpuasa di berbagai tempat di dunia ini bagi banyak orang,” kata Ikhtifar. (VOA/Wrt3)
0 komentar:
Posting Komentar