KOMPAS.com - Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, memiliki peluang besar untuk menggali potensinya di bidang kreativitas berbasis Islami. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki kelengkapan infrastruktur spiritual sebagai sumber “jiwa” utama dalam mengolah keindahan karya rancang fashion muslim, demikian menurut konsultan mode asal Paris, Kim Laursen, ketika menanggapi visi Indonesia menuju Kiblat Fesyen Muslim Dunia 2020.
Sebagai konsultan yang sudah berpengalaman selama 15 tahun bekerja untuk perancang kelas dunia seperti Christian Lacroix, Ellie Saab, Azaro, dan Paul Ka, Kim siap membantu para desainer Indonesia untuk mempersiapkan diri mencapai target yang tinggal 8 tahun lagi sejak sekarang. Langkah yang dilakukannya adalah mendatangkan tim dari Savoir Faire Savoir (SFS), perusahaan Perancis yang memberikan konsultasi dalam bidang desain, analisis tren, pengembangan produk, pengarah kreatif, presentasi, dan manajemen model. SFS banyak membantu perusahaan-perusahaan yang ingin meningkatkan image, style, dan komunikasinya.
Di sela-sela paparannya yang berjudul “Paris Benchmarking: From Concept to Store, Challenging Development of Indonesia Muslim Fashion Industry", di Hotel Pullman Central Park, Jakarta, beberapa waktu lalu, Kim menunjukkan bagaimana timnya memberikan sentuhan internasional untuk dua perancang busana muslim Indonesia: Anne Rufaidah dan Tuti Adib. Kedua perancang ini mengadakan peragaan busana mini untuk koleksi lama mereka yang sudah dipadupadankan ulang oleh Heri Bisma, salah satu anggota tim SFS asal Indonesia.
"Awalnya agak susah mempadupadankan koleksi busana bu Anne yang sudah berusia empat tahun ke fashion show ini. Sebab dari tema dan warnanya masih bercampur-baur. Tetapi karena bu Anne punya talent yang tinggi, meski koleksinya campur-campur tapi masih ada benang merahnya, jadi ada sesuatu yang bisa dibikin baru lagi," ujar Heri, yang bekerja untuk l'Eclaireur (salah satu fashion store paling trendi di Paris), dan untuk label fashion Jepang, Comme des Garcons.
Dalam pengamatannya, kebanyakan busana muslim Indonesia dijual dalam satu paket, dari penutup kepala hingga celana panjangnya. Padahal, menurutnya dalam berbusana kita tidak perlu terikat dengan aturan. Kita bebas memilih busana atau mempadupadankan apa yang kita miliki. Semakin banyak pilihannya, semakin baik karena kita jadi tidak seragam dengan orang lain.
"Ini merupakan suatu pelajaran bagaimana wanita itu bisa bebas dan mandiri untuk memilih apa yang dia mau. Mereka bisa menjadi seorang yang mandiri dalam memilih warna dan bentuk yang disuka, tapi masih sesuai standar mode," tambah pria yang sudah 20 tahun menetap di Paris ini.
"Ini merupakan suatu pelajaran bagaimana wanita itu bisa bebas dan mandiri untuk memilih apa yang dia mau. Mereka bisa menjadi seorang yang mandiri dalam memilih warna dan bentuk yang disuka, tapi masih sesuai standar mode," tambah pria yang sudah 20 tahun menetap di Paris ini.
Heri bahkan menaruh perhatian khusus pada mukena yang dipakai oleh kebanyakan perempuan Indonesia. Ia menyayangkan mengapa mukena umumnya memiliki potongan yang itu-itu saja. Padahal, kita juga bisa memberikan penampilan yang terbaik saat memanjatkan doa.
"Dari sini ide saya mulai bekerja untuk membuat sesuatu yang berbeda. Selama di Comme des Garcons, saya berpengalaman mengobrak-abrik pola, sehingga rok bisa jadi jaket, jaket bisa jadi celana. Saya memikirkan sesuatu yang agak berbeda dari segi teknik. Saya tambahkan elemen-elemen yang biasa dikenakan untuk mukena biasa. Ketika mukena-mukena itu ditampilkan, ternyata efeknya adalah sesuatu yang tidak pernah kita lihat," tutur Heri, yang dibantu penjahit yang sebelumnya hanya pernah menjahit kemeja.
Campur tangan Kim Laursen dan timnya membuka wawasan dua perancang ini dalam memberikan sentuhan internasional ini pada koleksi busananya. "Banyak ilmu yang saya dapat dari Kim, konsep membuat rancangan dari atas ke bawah. Tidak berlebihan, tapi very nice. Yang penting adalah bagaimana membuat suatu baju yang memperlihatkan bentuk kain, pola yang rapi, clean, dan melihat baju akan dikonsep jahit seperti apa. Dari mas Heri, terlihat suatu perubahan yang kecil, tapi dramatis. Misalnya, kerudungnya sama, tapi tiba-tiba diberi warna yang berbeda," ucap Tuti Adib.
Kim tidak hanya mengamati konsep rancangan busana, tetapi juga konsep make-up yang menyertainya. Menurutnya, busana rancangan para desainer kita sangat kaya dalam materialnya, entah itu dari batik, tenun, songket, lace, sulaman, atau dari aksesorinya.
"Itulah yang harus lebih dilihat, ketimbang warna-warna dari wajah modelnya. Jadi, untuk make-up bagusnya yang nude make-up. Sebaiknya kita fokus ke garmennya agar lebih elegan," ujar Kim. Riasan mata pun tidak membutuhkan bulu mata agar terlihat lebih natural. "Simplicity makes modernity," tambahnya.
Bincang-bincang bersama Kim Laursen merupakan pembuka event pameran dan konferensi pebisnis syariah dunia “The 3rd Muslim World BIZ” yang akan berlangsung di Jakarta Convention Center, 12-16 September 2012. Pameran dan konferensi ini akan digabungkan dengan pemilihan “The World Muslimah Beauty” pada 9-15 September 2012. Ajang pemilihan duta muslimah sejagad ini diadakan oleh Muslimah Beauty Foundation dan Indonesia Islamic Fashion Consortium (IIFC), sebagai perkembangan dari event Muslimah Beauty Contest (2011).
Bincang-bincang bersama Kim Laursen merupakan pembuka event pameran dan konferensi pebisnis syariah dunia “The 3rd Muslim World BIZ” yang akan berlangsung di Jakarta Convention Center, 12-16 September 2012. Pameran dan konferensi ini akan digabungkan dengan pemilihan “The World Muslimah Beauty” pada 9-15 September 2012. Ajang pemilihan duta muslimah sejagad ini diadakan oleh Muslimah Beauty Foundation dan Indonesia Islamic Fashion Consortium (IIFC), sebagai perkembangan dari event Muslimah Beauty Contest (2011).
0 komentar:
Posting Komentar